Pilkada Langsung dan Desentralisasi Fiskal

No image
Oleh
15 September 2014, 09:12
No image
KATADATA

Wahyu Prasetyawan, Political Economist

SAAT ini Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah sedang dibahas anggota DPR yang akan berakhir masa tugasnya pada Oktober mendatang. Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) mengusulkan agar Pilkada langsung diganti dengan pemilihan oleh anggota DPRD. Intinya, hak rakyat untuk memilih dalam rezim otonomi daerah akan direbut oleh anggota DPRD. Tentu saja ini kemunduran jika dilihat dari kacamata demokrasi.

Ada tiga argumentasi pokok yang diajukan oleh KMP, yaitu biaya Pilkada mahal, tumbuhnya politik uang, dan munculnya konflik horisontal. Tulisan ini hanya akan fokus pada argumentasi biaya Pilkada yang dianggap mahal, dan kompatibilitas pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam rezim desentralisasi.

Pertama, soal pendapat KMP bahwa biaya Pilkada langsung mahal. Pendapat ini masih terlalu umum dan tidak jelas ukurannya, karena tidak jelas pula apa maksudnya. Ada dua biaya dalam Pilkada, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, dan biaya yang dikeluarkan oleh kandidat untuk mendapatkan dukungan partai dan biaya kampanye. KMP tidak memberikan kualifikasi biaya mana yang dimaksudkan.

Sesungguhnya biaya penyelenggaraan Pilkada amat kecil jika dibandingkan dengan APBD untuk tiap-tiap daerah. Dari perhitungan sederhana dengan cara membandingkan biaya Pilkada dan APBD pada tahun yang sama, dapat ditunjukkan bahwa biaya Pemilu di daerah amat kecil.

Sebagai contoh provinsi dengan APBD besar seperti DKI Jakarta memiliki rasio yang amat kecil, yaitu 0,01. Sementara itu, untuk provinsi dengan APBD kecil, rasionya tidak terlalu jauh berbeda. Misalnya untuk Nusa Tenggara Timur (NTT) rasionya sebesar 0,02.  

Secara umum, provinsi yang berada di pulau Jawa rasionya berkisar dari 0,01 hingga 0,09. Jawa Barat memiliki rasio paling tinggi, yaitu 0,09. Sedangkan yang paling rendah adalah Jawa Tengah dan DKI, yaitu 0,01. Jadi, sama sekali tidak ada bukti bahwa biaya Pilkada mahal.

Jika biaya kampanye dianggap mahal, sebetulnya masih dapat dicarikan jalan keluarnya. Pembatasan media kampanye adalah salah satunya. Pemerintah dapat menetapkan aturan kampanye luar ruang dengan pembatasan lokasi dan ukuran.

Teknisnya, kandidat hanya boleh memasang gambar di lokasi yang ditetapkan dan disiapkan pemerintah, dan ukurannya seragam. Kampanye melalui media dapat dibiayai pemerintah untuk menjaga asas kesetaraan, sehingga tidak ada lagi kandidat pemilik media menggunakan medianya untuk kampanye.

Yang mungkin masuk wilayah abu-abu justru biaya dari partai politik itu sendiri, yaitu biaya menggunakan partai atau yang dikenal sebagai mahar atau biaya perahu. Sudah bukan rahasia biaya ini menjadi mahal karena memang masuk wilayah abu-abu.

Karena itu, masalahnya justru terletak pada perilaku partai politik itu sendiri. Hanya partai politik yang dapat menyelesaikan masalah ini. Kalau KMP beranggapan mahalnya biaya Pilkada bersumber dari ini, maka mengajukan usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD tidak dapat ditemukan logikanya.

Kedua, masalah desentralisasi fiskal dan pemilihan kepala daerah. Desentralisasi fiskal seperti yang dipraktikkan di Indonesia senapas dengan pemilihan kepala daerah secara langsung. Langkah besar dalam bidang keuangan ini justru menjadi pilar pokok desentralisasi. Baru beberapa tahun kemudian langkah politik berupa pemilihan langsung kepala daerah mengikutinya.

Halaman:
No image
Reporter: Redaksi
Editor: Arsip

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...